Astri

Astri,
Namaku dan ia juga. Nama kami sama dan ternyata ditakdirkan untuk bersama.

Jauh sebelum kami membersamai satu sama lain,

Aku dan Astri sekolah di SMP yang sama. Aku mengetahui namanya saat di parkiran sepeda. Waktu itu ada yang memanggilku dengan panggilan “Astri”, dan ada yang menyahut juga selain aku. Eh,  malu juga ternyata yang dimaksud panggilan itu bukan aku, hahaha.

Aku mulai tahu Astri saat sudah tahun kedua aku sekolah disana. Karena nama kami sama, sudah wajar aku mencari tahu. Dia ternyata murid penghuni kelas unggulan di sekolahku. “Hmmm, kaum elit”. Pikirku yang mungkin tidak ada alasan untuk sekadar menyapanya.

Entahlah, sekolahku saat itu sangat memberikan batas antara kelas regular dan RSBI. Tiga kelas regular terpisah jauh dari kelas mereka selama tiga tahun berturut - turut. Padahal kami satu angkatan. Bagaikan si kaya dan si miskin, bagaikan si cantik dan buruk rupa, begitu jelas gab yang terbentang. Sedihnya aku ada di kelas regular, seperti anak tiri rasanya. Jika tidak karena prestise sekolah ini, tidak sudi aku sekolah disitu. Aku pun sangat bersyukur saat RSBI sudah dihapus saat aku lulus dari sekolah itu. HAHAHA.

Ah, mari kita kembali ke Astri.

Lulus dari SMP, kami dipertemukan di sekolah yang sama lagi. Bahkan satu kelas. Nomor absenku ada dibawahnya. Kami sempat duduk di bangku yang sama, bersama dengan Sophie. Memang di kelasku ada bangku yang ditata untuk tiga murid sekaligus. Namun hanya bertahan beberapa hari, aku meminta pindah dari mereka. Yah, Sophie dan Astri adalah teman dekat sejak di SMP. Mereka lebih cenderung berbincang berdua meninggalkanku sendirian. Mereka membahas topik teman – temannya sendiri, membahas korea, membahas hal – hal yang tidak aku mengerti yang menurut mereka sangat asyik. Huft. Sebal rasanya.

Hanya sekadar teman sekelas, itu yang kurasakan selama berteman dengannya beberapa bulan  di tahun pertama di sekolah itu. Jika ada tugas bersama, kami kerjakan bersama. Saat hang out dengan teman lain, ya kami ikut saja. Mengobrol bersama, presentasi bersama, yah nothing special. Astri hanya temanku biasa seperti yang lain.

Namun, Allah mempertemukan kami di agenda lain.
Suatu ketika dia mengajakku mengikuti acara kerohanian islam di sekolah. Dia berani mengajakku karena beberapa kali kami sering bertukar pendapat tentang islam, terlebih dengan cara islam memandang cinta. Hahaha.. Memang saat itu aku dan Astri sama – sama sedang terjebak dalam lingkaran setan jambu merah muda. Kami sering saling mendukung untuk move on fii sabilillah.

Mungkin latar belakang sepele yang sama itulah yang menjadi alasan petualangan kami dimulai.

Banyak aktivitas yang kami kerjakan bersama. Bersepeda bersama, kehujanan bersama, makan bersama, ke masjid bersama, ke toilet bersama, bercerita bersama, saling bertukar pikiran dan pendapat, dan hal – hal sepele lain yang ternyata sangat sering kami lakukan bersama.

Banyak perbedaan yang kutemukan darinya. Aku yang ramai sangat tidak cocok dengan dia yang sangat kalem. Aku yang bergerak cepat sangat tidak cocok dengan dia yang super selow. Aku yang disiplin sangat tidak cocok dengan dia yang pelupa. Aku yang rajin sangat tidak cocok dengan dia yang berantakan. Aku yang sangat respect sangat tidak cocok dengan dia yang masa bodoh. Aku yang optimistis sangat tidak cocok dengan dia yang mudah menyerah.

Dan akupun sangat bersyukur. Aku yang mudah tersulut, mampu ia padamkan dengan sikapnya. Aku yang mudah su’udzon, ia dapat mengubah fikiran burukku. Aku yang suka teriak teriak kesal, mampu ia jinakkan begitu saja. Dan saat aku mulai sedih, ternyata cukup tenang melihatnya tertawa riang disampingku. Dia yang setia mendengar segala ocehanku. Dia yang cerdas mengerti kapan harus mendengarkan dan menasehati. Dia yang dengan sabar menolongku. Dia yang selalu tersenyum, dan mampu menahan segala amarah. Namun dia yang sangat mudah menangis saat sudah tak terbendung. Dia yang sangat diam saat sudah memuncak.

Pernah sekali. Kami marahan.

Suatu ketika kami tergabung dalam satu kepanitiaan. Dia tidak amanah memegang suatu tugas. Dia yang beralasan harus ikut makan – makan bersama keluarga, meninggalkan job desknya kepesertaan yang sudah terbengkalai.  Padahal esok pagi event sudah harus terlaksana. Terpaksa aku dan panitia lain yang bukan di job desk tersebut menyelesaikan tugasnya. Seketika aku bilang kepada ketua pelaksana, “Astri biar aku yang urus.”

Saat itu aku sudah diujung tanduk, “Santai boleh, tapi untuk suatu hal yang penting? Ini sudah terlalu fatal”, pikirku saat itu. Aku sahabatnya, aku yang terdekat dengannya, aku yang akan merubahnya. Setelah pekerjaan selesai, aku mengirim pesan marah – marah kepada dia. Bahasaku ketus. Biar saja. Biar dia tau rasa.

Esok paginya, benar saja. Dia tidak menyapaku sama sekali. Setiap bertemu selalu menunduk. Setiap aku berbicara, hanya dia jawab sekilas. Waktu - waktu di event besar sekolah sepenting itu, menjadi hari yang tak pernah kulupakan.

Beberapa hari aku bergencatan senjata dengannya. Namun ada saja hal – hal yang membuatku ingin meminta maaf kepadanya. Di kajian islam dekat rumah, caption instagram, quotes – quotes di internet, semua temen – temanku lain sekelas, hingga sponsor di televisi mendorongku untuk segera meminta maaf kepadanya. “ya wajar aku marah. Kan dia yang salah.” “Put plis event ini sudah berakhir”, balas temanku yang lain. Dasar Astri si egois dan penggengsi tinggi. Kenapa sih tidak menyapa aku duluan?

Hingga aku sadar betapa aku yang membutuhkan dia sekarang. Memang harus diawali dengan pertengkaranlah untuk menguji seberapa kuat persahabatan itu sendiri. Jika sudah hilang, baru tahu rasanya dulu dihargai.

Lalu aku meminta maaf dan memeluknya seerat mungkin. Aku sudah sangat keterlaluan dengannya. tidak. aku tidak akan mengulanginya lagi.
Kami mulai menghabiskan waktu bersama lagi. Saling memberi hadiah, hadiah peta mimpi, hadiah bolpoin dan lukisan namanya, 2 foto kecil yang kami letakkan di dompet masing - masing. Menyanyi bersama di loteng masjid, seolah – olah nggak ada yang dengar. Curhat tidak kenal waktu, ngalor ngidul nggak kelar – kelar. Berteduh di parkiran masjid akibat kehujanan. Liqo’ bareng.

Aku seperti menemukan saudara kandung. Aku lupakan segala kekurangannya. Kuterima dia apa adanya, dan aku bahagia.

Kami pun menginjak tahun kedua, dan Allah tetap menakdirkan aku bersamanya lagi. Ah senang sekali rasanya. Hingga teman – teman sekelasku menjuluki kami duo astri. Karena kami sahabat yang tak pernah terlihat terpisah. Hahahaha... saat di kelas aku memilih untuk tidak sebangku dengannya, karena aku suka ngobrol dan tidak bisa mendiamkannya. Gemas saja rasanya melihat dia diam. Hahaha.. aku berkali – kali memberitahunya bahwa, “sahabat tidak harus bersama kan? Nanti kalo kita sering bareng banyak temen – temen cewek kita yang menjauhkan diri mereka karena merasa terkacangi. Hehehe.” Walau dia sudah tahu, aku suka saja mengulang – ulang pernyataan itu. Agar dia tidak merasa dijauhi.

Jujur saja, Astri itu susah sekali ditebak. Sikapnya yang halus dan kalem sangat sulit buatku untuk menangkap mimik wajahnya yang marah, kecewa, benar – benar senang, ataukah sekadar kesal. Jadi aku terus mengulang pernyataan sensitif agar dia tahu maksudku dan aku pun bisa tenang karena sudah memberitahunya.

Terus seperti itulah persahabatanku dengannya. Saling mengisi kekurangan. Saling menyemangati. Dan saling berani bermimpi.

Berbicara tentang mimpi, aku dan Astri memiliki mimpi yang sama. Menjadi mahasiswa di sekolah kedinasan ternama di republik ini. Sungguh heroik aku mengukir mimpi – mimpi itu bersamanya. Mulai belajar bersama, tergabung dalam komunitas gerakan anti menyontek, komitmen untuk tidak menyontek, sering dicibir di kelas karena terlalu saklek dengan menyontek, saling berpelukan setelah pertempuran ujian, dia yang memotivasiku mulai belajar menulis lagi, jogging bersama di Brawijaya, ikut tryout bersama, bagus - bagusan rangking dan poin pas tryout, belajar bahasa inggris bersama, balapan ngerjain TPA, shalat dhuha bersama, dan saling mendoakan bersama dalam diam kami.

Namun betapa terpuruknya aku ketika menerima takdir bahwa aku yang harus menggapai mimpi itu duluan. Aku sangat sedih meninggalkan dia yang terkubur mimpinya. Bahkan aku pernah menangis hanya karena dia gagal. Padahal dia banyak sekali membantuku di tes saringan masuk sekolah yang kami impikan itu. Aku berfikir saat itu Allah benar – benar tidak adil mengganjarku seperti ini. Tersiksa sendiri rasanya.

Dia akhirnya meneruskan di perguruan tinggi negeri. Walau kami ternyata satu kota, aku tidak sempat menjenguk ke kosnya. Aku sibuk, dia sibuk, kami sangat sibuk dengan urusan masing – masing. Hanya voice note, chatting, telfon, sebagai pelepas rindu maupun sekadar pembakar motivasi.

Beberapa bulan lalu, aku masih ingat betapa aku sangat senang dan haru saat itu, mendengar suaranya yang menangis karena mendapat pengumuman penerimaan mahasiswa di sekolah yang pernah kami impikan dulu. Mimpi yang akhirnya dapat ia gapai dengan kerja kerasnya sendiri tanpa aku disisinya selama setahun. Mimpi yang ia perjuangkan sendiri dengan berlawan perkuliahan yang baru ia masuki.
Dia saksi segala jejak perjuangan kami, perjuanganku dulu. Menemani dalam suka dan duka. Yang selalu ada saat aku mengeluh. Saksi hati ini patah dan tercabik akibat kepergian ibu dan si dia. Saksi betapa beratnya aku berhijrah hingga seperti sekarang ini. Saksi betapa mulutku keras meneriakkan mimpi, dan kini telah kami gapai bersama.

Di tahun keempat kami bersahabat, aku hanya ingin memberitahunya, bahwa aku akan berusaha memperbaiki diri agar persahabatan ini bisa kami bawa ke surga. Aku ingin persahabatan ini kekal. Sungguh aku tidak suka mengumbar indahnya persahabatan kami di publik, keseruan di instagram, ataupun yang lain. Aku hanya ingin persahabatan kami layaknya para sahabat Rasul dahulu yang dapat menggetarkan langit, duo Astri yang terkenal di penduduk langit, yang selalu didoakan rahmat oleh para malaikat. Betapa indah jika kami dapat bersama, bergandengan tangan menuju pintu surga Allah.

Semoga Allah mengkaruniakan kami menjadi sahabat di dunia dan di akhirat. Aamiin,

Komentar

Postingan Populer